BAB SATU
Tak
terasa sudah enam tahun berlalu Sinan sekeluarga tinggal di desa Sekek, Kecamatan Pringgabaya Lombok Timur.
Berpisah dengan sanak keluarganya di desa kelahirannya, Desa Pejanggik,
berpuluh-puluh kilometer dari tempat tinggalnya saat ini. Sinan adalah seorang
guru negeri yang mengajar di SDN 1 Pringgabaya. Ia adalah salah satu orang yang
berhasil lulus ujian CPNS yang diadakan pemerintah kabupaten lombok timur.
Waktu itu Lombok Timur (Lotim) membutuhkan banyak tenaga guru untuk
meningkatkan kualitas pendidikan di daerah itu.
Setelah
diterima bekerja sebagai guru negeri, Sinan segera menikah. Kini enam tahun
berlalu ia sudah dikaruniai seorang anak laki-laki. Istrinya bernama Kurni,
seroang pegawai negeri di kantor camat Pringgabaya. Pasangan suami istri yang
ideal dari segi kemapanan ekonomi. Menurut pandangan umum masyara
Pagi
ini, Sinan dan istrinya tidak pergi bekerja sebagaimana biasa. Mereka sedang
berada di rumah sakit Dr. Soedjono Selong –rumah sakit milik pemkab Lotim-
untuk menunggu Quary, anak semata wayang mereka. Quary diopname sejak dua hari
yang lalu karena terkena typus. Sinan sangat khawatir karena panas Quary tak
juga turun. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, ia meminta cuti selama
Quary berada di rumah sakit. Untunglah, kepala sekolah mengizinkannya. Begitu
juga dengan istrinya, ia ikut-ikutan cuti dari kantor untuk menjaga anaknya.
Berat
sekali jika memilih bekerja sambil menunggu Quary. Bolak-balik Pringgabaya-
Selong tidak memungkinkan untuknya. Apalagi dengan istrinya. Yah, ini adalah
pilihan berat. Tapi, apa boleh buat.
“Pak,
tadi ada resep yang harus kita tebus. Sebaiknya Bapak pergi sekarang, biar
Quary cepat membaik,” saran Kurni ketika melihat Sinan duduk melamun di bangku
yang ada di depan kamar tempat Quary menginap.
“Yah,
baiklah,” katanya menurut.
Ia
langsung pergi begitu menerima secarik kertas dari tangan Kurni. Ia tidak
bingung dengan uang untuk biaya
pengobatan. Toh ia mempunyai gaji besar dari penghasilannya sebagai guru negeri
begitu pula dengan gaji istrinya. Masalah uang bukan yang utama bagi mereka.
Quary kembali sehat adalah keinginan mereka saat ini melebihi apapun.
Apotik
yang ia tuju sedang sepi. Untunglah, katanya dalam hati.
“Berapa,
Mas,” tanya Sinan begitu apoteker di depannya menyodorkan bungkusan obat yang
ia pesan.
“Empat
ratus ribu enam puluh lima
ratus rupiah,” jawab sang apoteker.
Dari
dompetnya, Sinan menarik uang lima
lembar uang seratus ribu lalu memberikannya pada apoteker. Ditunggunya sang
apoteker mencari kembaliannya sambil duduk di bangku panjang ketika matanya
melihat seseorang yang ia kenal- beberapa tahun yang lalu.
Seorang
perempuan berpakaian sederhana masuk sambil menggendong seorang bayi yang
tertidur.
“SGM
nya ada, Mas?” tanya perempuan itu begitu mendekat di meja apoteker.
“Ukuran
apa, Bu?”
“Yang
tanggung saja,” kata perempuan itu lagi. Ia belum menatap Sinan hingga Sinan
tidak berani memastikan perkiraannya.
Kesempatan
yang tidak diduga Sinan ada ketika ia bangun untuk mengambil kembalian uangnya.
Ia melihat jelas dan merasa tidak mungkin ia salah kira.
“Yupi…?”
Perempuan
yann disapa itu menoleh meskipun sudah akan pergi meninggalkan apotek. Raut
wajahnya terlihat kaget dan memerah.
“Lho…
kak Sinan? Kok bisa ada di sini?” tanyanya terdengar grogi. Sebenarnya ia ingin
pergi dari tempat ini.
“Anakku
sedang sakit. Yupi sendiri rumahnya di mana sampai beli susu di apotek ini?”
Anak di gendongan Yupi ini tidak mirip dengan ibunya.
“Saya
tinggal di Rasbani,” jawab Yupi. Ia ingin sekali segera pergi tapi takut Sinan
tersinggung. Masak teman lama baru berjumpa kok langsung mau pergi.
“Ooo. Ini anak yang paling besar?” tanya Sinan tak
tahan dengan penasarannya dengan bayi dalam gendongan Yupi.
“Ooo, bukan. Ini anak tetangga saya yang nitip tadi
pagi. Tapi saya bawa aja ke sini karena tidak ada orang di rumah yang ngawasi
sekalian saya beliin susu. Ibunya tadi lupa ninggalin susu anaknya di rumah.”
“Ooo…,” kata Sinan ber ooo lagi. Secara fisik, Yupi
masih sama seperti dulu. Senyumnya yang tidak bisa dilupakan Sinan bahkan masih
ada sampai sekarang. Dan sekarang Yupi bertingkah tenang tidak grogi lagi
seperti tadi. Tidak ada sikap reaktif seperti dulu ia mengenalnya.
“Maaf, ya. Kalo saya harus pergi duluan. Rumah sepi,
nanti anak-anak saya kasihan kalo pulang sekolah.”
Anak-anak. Berapa anak Yupi sekarang? Ia ingin
bertanya tapi tidak mungkin. Yupi sudah berada di seberang menunggu angkot tiba
untuk pulang ke rumahnya.
Ahh… tanpa pikir panjang lagi, Sinan berencana
mengikuti ke mana Yupi pergi. Ia ingin tahu di mana Yupi sekarang tinggal,
bagaimana kehidupannya.depannya.
*******
“Kakak
ke mana saja? Quary sudah telat waktunya untuk minum obat.”
Sinan
diam. Ia mengerti kegusaran Kurni. Ia menyerahkan kantong obat dan kemudian
duduk di bangku depan kamar Quary.
Rumah
Yupi terlihat sejuk dengan deretan beberapa pohon buah di halamannya. Tapi
rumah itu terlihat sepi. Tak ada orang lain lagi yang terlihat selain Yupi dan
kedua orang anak kecil yang kemudian memanggilnya ibu. Suaminya belum terlihat.
Sinan menunggu lama sebelum kembali ke rumah sakit. Ia ingat, Quary belum
meminum obatnya.
“Tidak
enak badan?” tanya Kurni, tangannya menyentuh bahu Sinan. Karena Sinan
menggeleng, ia kembali masuk menemani Quary. Tak biasanya kak Sinan seperti
ini, aneh. Apakah musibah yang menimpa kami ini membuatnya semakin tak
semangat? Ya Allah, ada apa ini? Tangannya menepuk punggung Quary yang sedang
tertidur.
Meski baru enam tahun menikah, Kurni
sudah mulai mengenal pribadi Sinan. Ia bisa merasakan saat Sinan bahagia, saat mengelak dari suatu
hal, saat berusaha menyembunyikan sesuatu. Ia telah belajar mengenal diri Sinan
semenjak Sinan memutuskan menikah dengannya dan membiarkan begitu saja Yupi,
kekasihnya merana. Itu yang Kurni belum puas mendengar alasan Sinan. Sinan
memberinya jawaban ambigu. Seiring waktu ia tidak mempermasalahkannya. Yang
penting Sinan kini telah menikah dengannya.
Keberuntungan
besar Sinan mengajaknya menikah. Tak
diduga dan tak ada pemberitahuan terlebih dahulu. Ia tahu Sinan sudah punya
kekasih. Yupi namanya, anak Lombok Timur. Hubungan mereka sering membuatnya iri
karena betapa manisnya kedua orang membawa diri. Yupi gadis yang menarik dengan
pembawaannya yang riang. Sinan yang berwibawa dengan sikap santunnya. Rasanya
tidak mungkin ketika tiba-tiba Sinan mengajaknya menikah di pagi hari bulan
syawal itu. Ia kaget namun tak menolak. Ia mengenal Sinan sebatas sebagai
tetangga saja. Tak lebih.
Bulan
lebaran yang paling indah sepanjang umurnya. Terlebih ketika itu ia dinyatakan
lulus tes CPNS. Sinan terlalu jauh untuk ia rindukan sebagai seorang kekasih
apalagi menjadi suaminya. Tapi takdir berkata lain. Sinan yang misterius
melamarnya di hadapan keluarganya. Siapa yang akan menolak kalau begitu.
“Aku
ingin menikah dengan perempuan yang tepat,” jawab Sinan ketika Kurni menanyakan
alasannya.
Kurni tak bertanya lebih lanjut lagi.
Pertanyaan-pertanyaan lainnya ia sembunyikan saja dalam hati tak ingin membuat
Sinan tak nyama. Baru saja mereka hendak bersama bisa rusak jika tak dijaga
baik-baik.
Akhirnya pernikahan itu terjadi. Pernikahan yang
meriah kata teman-temannya. Ia pun berpendapat demikian. Senyum yang terus
mengembang, mengalir mengiringi tetamu yang datang seperti angin sepoi yang
sejuk. Oh Sinan. Suami idaman banyak gadis di desa Pejanggik. Tak banyak perubahan
pada Sinan setelah menikah. Ia tetap tak banyak bicara, misterius bagi Kurni -
karena tak banyak bicara tentang isi hatinya, padahal mereka pengantin baru.
Tapi Kurni ingin memberi waktu pada Sinan untuk berubah atau… mungkin tidak
sama sekali bagi Sinan. Ia sepertinya tipe orang yang konservatif sekaligus
introvert. Apakah begini sikapnya pada Yupi juga?
Mau tak mau ingatan Kurni beralih pada Yupi. Ia
beberapa kali melihat gadis itu ketika berkunjung ke rumah Sinan. Ia sering
merasa malu ketika berpapasan dengan Yupi. Yupi yang banyak tersenyum pada
orang yang menyapanya membuatnya merasa minder karena ia tak bisa seperti itu.
Meski berkunjung hanya ketika ada acara di rumah keluarga Sinan , namun Yupi
sudah dikenal baik oleh keluarga besar Sinan. Mereka pun terang-terangan
menyukai keberadaan Yupi sebagai calon menantu. Hingga takdir berkata lain. Mau
tak mau mereka harus menerima keberadaannya sebagai istri Sinan. Ia memaklumi
tingkah kaget keluarga Sinan waktu itu. Seiring waktu semua berjalan seperti
yang diharapkan. Apalagi ia seorang PNS, mau apa lagi yang dicari dari seorang
menantu. Kurni mendapat banyak pertolongan dengan pekerjaannya ini. Keluarga
Sinan akhirnya mengerti dengan keputusan Sinan yang mendadak. Mereka mendukung
Sinan karena memutuskan hal yang benar.