Selasa, 17 Januari 2012


BAB KEDUA
          “Maaf kita tidak bisa bicara di dalam,” tolak Yupi ketika suatu siang Sinan datang berkunjung ke rumahnya. Ia mempersilahkan Sinan untuk duduk di berugak sehingga jelas terlihat dari jalan raya di depan rumahnya.
          Sinan tak mengeluh meskipun diperlakukan demikian. Yupi tidak berubah, katanya dalam hati.
          Berdua mereka kemudian duduk menepi di berugak. Yupi duduk terlihat menjauh dari tempat Sinan. Masing-masing di ujung berugak. Suasana sempat sepi hingga Yupi membuka mulut terlebih dahulu.
          “Kak Sinan tahu rumah saya dari mana?”
          “Tadi nanya-nanya di warung sebelah. Sebenarnya tadi aku baru balik dari  Pringgabaya. Ingat kamu pernah kasih tahu rumah kamu di Rasbani, jadinya aku mampir.”
          Yupi diam. Sinan tetap seperti dulu. Berbelit-belit. Banyak alasan!
          “Rumah ini sejuk sekali, Pi. Tapi kok sepi?”
          “Kak Sinan tinggal di mana sekarang?” Basa-basi yang membosankan. Lambat dan menghabiskan banyak waktu.
          “Aku sekarang tinggal di Pringgabaya…”
          Yupi cuma mengangguk.
          “Tinggal di sini dengan siapa, Pi. Kok sepi sekali? Suamimu mana?”
          “Lebih tenang kalo sepi. Saya lebih suka suasanannya seperti ini.”
          “Kamu memang tidak berubah, Pi. Lebih suka sendiri dan tidak mau bergaul dengan orang lain,” balas Sinan.
          “Bukannya nggak mau. Tapi ada begitu banyak hal dalam diriku yang membatasiku untuk tidak bergaul dengan orang lain. Aku bergaul kok dengan orang lain, tapi tidak dengan semua orang. Takutnya aku nanti nggak bisa sama seperti orang itu. Aku nggak bisa menerima beberapa hal yang sebenarnya mungkin sepele untuk orang lain tapi buatku itu mengganggu. Yah mungkin, dulu pas kuliah aku tidak bergaul dengan teman-teman hanya beberapa orang saja. Memang aku rasa sendiri juga aneh tapi aku lebih nggak bisa berteman dengan orang yang membuatku tak nyaman. Kak Sinan masih ingat dengan Wiwik, Eliza, Ice atau yang lainnya? Aduh,ampun deh. Awalnya aku berusaha membaur dengan mereka tapi aku nggak tahan dengan bau mulut mereka yang mengganggu sekali. Atau sakit pilek mereka yang terlalu sering. Aku nggak bisa bergaul dengan terpaksa begitu. Makanya aku lebih suka bergaul dengan Ros, Nursa. Kelompok yang diremehkanlah sama kelompoknya Eliza. Aku lebih suka gabung dengan mereka karena meski dari penampilan sederhana tapi mereka menjaga kebersihan. Atau coba lihat si Ina. Ia kan sering berlagak jadi anak keren tapi pas pagi sering kali matanya aduh…. Dihiasi oleh kerak sisa tidur tadi malam. Malu banget deh…!”
          “Pi…” Sinan takjub mendengar Yupi bicara sebanyak ini. Ada hal yang belum ia tahu dari Yupi yang sebenarnya. Ia mengira Yupi diam, tak tahu apa-apa bahkan terkesan kuper. Ternyata…
          Yupi yang banyak bicara barusan menyadari sikapnya. Ada rasa malu menyelimuti hatinya karena memperlihatkan sisi buruknya pada Sinan. Terlebih lagi mereka sudah lama tidak bertemu. “Maaf,” ujarnya malu sekali.
          “Suamimu mana, Pi. Kok belum kelihatan dari tadi?”
          Yupi terdiam. Ia makin tak nyaman dengan Sinan. “Maaf anak-anak saya sebentar lagi pulang kursus. Saya mau menjemput mereka.”
          “Nggak suka aku ke sini?” Sinan ikut-ikutan sedikit sewot.
          Hhh… dasar. Orang ini memang tidak bisa diperlakukan baik.
          “Maaf Kak Sinan… anak-anak saya pasti sudah menunggu saya. Saya harus menjemput mereka.” Yupi bangkit, menunggu Sinan juga ikut pergi.
          Sinan tersenyum masam. Ia merasa Yupi sengaja mengusrinya. Ia merasa terluka. “Aku nggak pernah ngerti dengan pikiran kamu, Yupi.”
          Yupi tak peduli. Rasa sakit hatinya yang telah hilang tiba-tiba kembali membara. Ia sangat marah dengan Sinan terlebih lalgi dengan sikapnya sekarang.
          “Hhh… tolong saya harus pergi sekarang,” pintanya lagi.
          “Dan jangan datang ke sini lagi,” tambahnya di balik punggung Sinan yang bergerak dengan langkah berat.
          Sinan memandangnya agak lama, tak percaya Yupi marah padanya.
         

Tidak ada komentar: