BAB KEDUA
“Maaf
kita tidak bisa bicara di dalam,” tolak Yupi ketika suatu siang Sinan datang
berkunjung ke rumahnya. Ia mempersilahkan Sinan untuk duduk di berugak sehingga
jelas terlihat dari jalan raya di depan rumahnya.
Sinan
tak mengeluh meskipun diperlakukan demikian. Yupi tidak berubah, katanya dalam
hati.
Berdua
mereka kemudian duduk menepi di berugak. Yupi duduk terlihat menjauh dari
tempat Sinan. Masing-masing di ujung berugak. Suasana sempat sepi hingga Yupi
membuka mulut terlebih dahulu.
“Kak
Sinan tahu rumah saya dari mana?”
“Tadi
nanya-nanya di warung sebelah. Sebenarnya tadi aku baru balik dari Pringgabaya. Ingat kamu pernah kasih tahu
rumah kamu di Rasbani, jadinya aku mampir.”
Yupi
diam. Sinan tetap seperti dulu. Berbelit-belit. Banyak alasan!
“Rumah
ini sejuk sekali, Pi. Tapi kok sepi?”
“Kak
Sinan tinggal di mana sekarang?” Basa-basi yang membosankan. Lambat dan
menghabiskan banyak waktu.
“Aku
sekarang tinggal di Pringgabaya…”
Yupi
cuma mengangguk.
“Tinggal
di sini dengan siapa, Pi. Kok sepi sekali? Suamimu mana?”
“Lebih
tenang kalo sepi. Saya lebih suka suasanannya seperti ini.”
“Kamu
memang tidak berubah, Pi. Lebih suka sendiri dan tidak mau bergaul dengan orang
lain,” balas Sinan.
“Bukannya
nggak mau. Tapi ada begitu banyak hal dalam diriku yang membatasiku untuk tidak
bergaul dengan orang lain. Aku bergaul kok dengan orang lain, tapi tidak dengan
semua orang. Takutnya aku nanti nggak bisa sama seperti orang itu. Aku nggak
bisa menerima beberapa hal yang sebenarnya mungkin sepele untuk orang lain tapi
buatku itu mengganggu. Yah mungkin, dulu pas kuliah aku tidak bergaul dengan
teman-teman hanya beberapa orang saja. Memang aku rasa sendiri juga aneh tapi
aku lebih nggak bisa berteman dengan orang yang membuatku tak nyaman. Kak Sinan
masih ingat dengan Wiwik, Eliza, Ice atau yang lainnya? Aduh,ampun deh. Awalnya
aku berusaha membaur dengan mereka tapi aku nggak tahan dengan bau mulut mereka
yang mengganggu sekali. Atau sakit pilek mereka yang terlalu sering. Aku nggak
bisa bergaul dengan terpaksa begitu. Makanya aku lebih suka bergaul dengan Ros,
Nursa. Kelompok yang diremehkanlah sama kelompoknya Eliza. Aku lebih suka
gabung dengan mereka karena meski dari penampilan sederhana tapi mereka menjaga
kebersihan. Atau coba lihat si Ina. Ia kan
sering berlagak jadi anak keren tapi pas pagi sering kali matanya aduh….
Dihiasi oleh kerak sisa tidur tadi malam. Malu banget deh…!”
“Pi…”
Sinan takjub mendengar Yupi bicara sebanyak ini. Ada hal yang belum ia tahu dari Yupi yang
sebenarnya. Ia mengira Yupi diam, tak tahu apa-apa bahkan terkesan kuper.
Ternyata…
Yupi
yang banyak bicara barusan menyadari sikapnya. Ada rasa malu menyelimuti hatinya karena
memperlihatkan sisi buruknya pada Sinan. Terlebih lagi mereka sudah lama tidak
bertemu. “Maaf,” ujarnya malu sekali.
“Suamimu
mana, Pi. Kok belum kelihatan dari tadi?”
Yupi
terdiam. Ia makin tak nyaman dengan Sinan. “Maaf anak-anak saya sebentar lagi
pulang kursus. Saya mau menjemput mereka.”
“Nggak
suka aku ke sini?” Sinan ikut-ikutan sedikit sewot.
Hhh…
dasar. Orang ini memang tidak bisa diperlakukan baik.
“Maaf
Kak Sinan… anak-anak saya pasti sudah menunggu saya. Saya harus menjemput
mereka.” Yupi bangkit, menunggu Sinan juga ikut pergi.
Sinan
tersenyum masam. Ia merasa Yupi sengaja mengusrinya. Ia merasa terluka. “Aku
nggak pernah ngerti dengan pikiran kamu, Yupi.”
Yupi
tak peduli. Rasa sakit hatinya yang telah hilang tiba-tiba kembali membara. Ia
sangat marah dengan Sinan terlebih lalgi dengan sikapnya sekarang.
“Hhh…
tolong saya harus pergi sekarang,” pintanya lagi.
“Dan
jangan datang ke sini lagi,” tambahnya di balik punggung Sinan yang bergerak
dengan langkah berat.
Sinan
memandangnya agak lama, tak percaya Yupi marah padanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar