Kurang lebih sekitar pertengahan bulan
Oktober 2011 kemarin, Kak Uyok dengan rasa segan tapi sangat ingin meminjam
uang padaku sebesar 500 ribu –awalnya dia bilang pinjam 300 ribu tapi kemudian
meralat dengan 500 ribu setelah ia melihat uang yang ku pegang saat itu cukup
banyak. Aku pun memberinya pinjaman karena kasihan melihatnya.
Aku bertemu dengan
dia di dealer MPM Motor Pancor ketika aku hendak membeli motor Spacy. Aku
memilih dealer ini karena aku tahu ia bekerja di sana. Hitung-hitung membantu saudara –karena
yang ku tahu berhasil menjual sepeda motor apalagi penjualan cash sang sales
akan mendapat bonus- pikirku saat itu, tanpa berpikir bahwa ia akan meminjam
uang padaku. Yaa… daripada aku
menghubungi orang lain, kan
lebih baik lewat saudara aja. Bukankah Allah SWT juga menganjurkan kita untuk
mendahulukan keluarga yang membutuhkan pertolongan dulu untuk dibantu sebelum
kita menolong orang yang lain?
Kak Uyok berjanji
akan membayar ku ketika waktu gajiannya tiba. Aku percaya saja karena tinggal
dua minggu lagi (mungkin) ia akan gajian. Ku tunggu dengan sabar, tak ada kabar
darinya. Aku hampir setiap hari lewat di depan rumahnya tapi tak pernah masuk
untuk menagih. Ia pernah bilang untuk tidak bilang siapa-siapa perihal ia
meminjam uang padaku ini. Katanya, ia malu jika orang lain tahu ia pinjam uang.
Apalagi, suaminya adalah orang yang sangat ia hindari untuk tahu masalah ini.
Suaminya keberatan jika tahu Kak Uyok meminjam uang. Mungkin suaminya merasa
uang hasil kerjanya selama ini cukup untuk kebutuhan mereka. Yang jelas, aku
tidak tahu uang itu Kak Uyok pakai untuk apa? Aku merasa tidak berkewajiban
untuk menanyakan.
Ok, kataku. Mungkin
dengan kesepakatan ini ia akan segera mengembalikan uangku, pikirku. Sebulan
berlalu, ia masih belum menepati perkataannya. Aku mulai gelisah karena uang
yang ku pinjamkan itu sebenarnya bukan
uangku. Itu uang Bibiku yang ku pakai untuk membayar motor. Aku khawatir ia
lupa dengan pinjaman uang ini dan tak mengembalikannya.
Ku SMS ia dengan
sedikit segan. Kecil harapanku ia akan merespon dengan mengatakan bahwa ia akan
ke rumah dan memberiku uang itu. Dan perkiraanku tidak meleset. Ia bilang akan
segera membayar hutang. Segera…!? Tapi tak tahu segera itu kapan. Karena hingga
bulan ke tiga ia meminjam belum juga ia memberi kepastian.
Ada niat dalam hatiku untuk
memberitahunya bahwa aku akan bilang saja pada suaminya bahwa ia berhutang 500
ribu padaku. Dengan begitu ia akan termotivasi untuk segera membayar hutang.
Tapi aku tak sanggup melakukannya. Aku kasihan jika mereka akan bertengkar. Aku
tidak mau orang lain bertengkar karena perbuatannya. Meski sedikit sumpek aku
menunggu hingga kini agar ia segera membayar hutangnya. Semoga Allah memberinya
pertolongan untuk membaya hutang padaku.
Kata orang sabar
dulu baru marah. Kira-kira begitulah aku beberapa hari yang lalu. Keinginanku
begitu kuat untuk datang ke rumah Kak Uyok saja agar keluarganya tahu. Dengan
begitu semua masalah akan beres. Ku cari waktu yang tepat hingga, Bibi Fiah
memberi tahu tentang kematian Ibu Kak Uyok. Katanya, ibunya meninggal tadi
malam. Ibunya memang sudah lama menderita sakit dan tak kunjung sembuh. Dan
sebagai anak yang tinggal bersamanya, Kak Uyok lah yang menanggung biaya hidup
ibunya selama ini. Dalam hati aku berpikir, untung saja aku belum datang ke
rumahnya dan berbuat kebodohan. Kalo tidak aku pasti akan sangat menyesal
dengan perbuatanku.
Karenanya sekarang,
aku berpikir untuk menunggu saja, kapan Kak Uyok sanggup membayar uang itu.
Semoga Allah menolong kami untuk
mendapat penyelesaian yang terbaik bagi kami Dunia dan akhirat. AMIN YA
ROBBAL ‘AALAMIIN.
YANG KEDUA
Semakin aku memohon kepada Alloh SWT agar aku dapat
melupakan Kak Khairul, semakin kuat pikiranku penuh olehnya. Aku tidak bisa,
terus menghabiskan waktuku untuk memikirkannya. Ada banyak hal yang seharusnya aku lakukan
untuk hidupku agar lebih berguna. Bertahun—tahun kemarin aku sudah menyiakan
waktuku begitu saja dengan penuh harapan bahwa apa yang ada dalam hatiku sama
dengan keinginannya.
Hingga aku sadar bahwa tak ada tempat berharap yang
terbaik selain daripada Allah SWT. Aku salah menjalani hidupku. Tak berpikir
seperti orang-orang yang dulu aku tertawakan karena menganggap mereka tak punya
kesenangan dalam hidup. Tetapi, menjalani hidup yang sangat membosankan.
Ku akui aku salah menilai kehidupan. Kehidupan yang
dipenuhi oleh kesenangan diri sendiri telah membuaiku untuk melupakan hal indah
yang dialami orang-orang ‘membosankan’ tadi. Mereka kini hidup senang, lurus
dalam kebahagiaan mereka yang mereka dapatkan –kelihatan- dengan mudah.
Mungkin…? Aku tak tahu itu. Suatu saat aku ingin bertanya pada mereka.
Awal mulanya aku hanya merasa kasihan dan merasa bersalah
saja pada Kak Khairul hingga aku berusaha keras untuk bisa dimaafkan. Aku
begitu bersikap keras padanya padahal ia hanya mengutarakan perasaannya padaku.
Ku anggap itu sangat mengganggu. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa inilah
awal mula kebahagiaan yang orang-orang ‘membosankan’ itu jalani dan kemudian
mereka perlakukan sangat baik. Aku tak tahu tentang hal itu atau tak terlalu
mementingkannya? Aku tak tahu.
Ternyata
ia tipe lelaki yang sulit melupakan kesalahan orang lain sekaligus sulit untuk
memaafkan. Semakin ia kemudian mempermainkan tekadku dengan dalih aku begitu
jahat padanya. Dan aku pun terpengaruh benar dengannya. Jadilah aku ingin
mendekat padanya dan ingin mengikuti kemauannya.
Hingga tiga tahun berikutnya ternyata ia masih juga
menyebut-nyebut kesalahanku. Ya Allah. Kenapa orang ini, pikirku? Tak adakah
hatinya membaik padaku setelah berulang kali aku minta maaf padanya. Tak
jugakah ia terenyuh dengan perlakuanku padanya. Ataukah aku yang buta dan awam
dengan perilakunya sedari dulu. Ya Rahmaan. Ya Rahiim.
Dengan menguatkan diri aku kini akan berusaha
melupakannya. Jika keadaannya tetap demikian mungkin inilah yang Allah
kehendaki. Tak dapat ditolak tak dapat disangkal. Sebaiknya ku terima ini
dengan mendekatkan diri kembali pada-Nya. Tak ada tempat untukku setelah
kekacauan hati yang menghanyutkan hidupku ke dalam alam khayalan yang tak terwujud.
Tak bisa lagi aku melakukan hal itu karena aku
sudah melakukan apa yang harusnya ku lakukan. Ku serahkan pada Tuhanku. Yang
Maha Memberi Kemenangan. Semoga aku termasuk orang-orang yang diberi kemenangan
dunia akhirat oleh-Nya. Selamat tinggal Dianku yang malang dan tertipu. Selamat tinggal Dianku
yang naïf. Selamat tinggal semua yang mendukungku kemarin. Maaf aku tak bisa
lagi bersama kalian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar