Jumat, 10 Februari 2012

TETANGGA R E S E

            Kantuk masih terasa di mataku ketika ku dengar pintu kamar berderit. Ibu yang kelihatan lebih tua dibandingkan umur yang sebenarnya mendekat dan duduk di samping dipanku.
            “Kamu tahu siapa yang datang pagi-pagi begini?”
            Pertanyaan yang ku kira sudah tak asing lagi. Aku diam, malah ingin melanjutkan tidur.
            “Levi … kamu dengar kata Ibu?” tanyanya lagi.
            Mau tak mau ku buka mataku.  “Aku tahu, Bu.”
            “Kalo begitu, bagaimana?” Antusiame Ibu membuatku gusar. Semestinya tak begini.
            “Kita kan sudah memberi pinjaman lagi padanya. Mau ngapain lagi, sih?!” aku jadi sewot plus kesal.
            “Masa sih, setiap dia mau melakukan sesuatu, yang paling repot itu kita. Apa nggak ada keluarganya yang lain yang bias dimintai tolong…”
            “Ya sudah. Kalau kamu tidak punya uang, biar Ibu nanti kasih tahu.” Ibu kemudian beranjak meninggalkan kamarku.
            Biar saja. Sesekali perlu juga dikasih pelajaran tetangga tak tahu diri itu. Siapa suruh macam-macam. Setan! Tukang gosip, rutukku dalam hati.
            Semestinya aku tidak perlu marah-marah begini. Tapi, terlanjur Ibu sudah menyapaku tadi. Kenapa dia mesti repot-repot untuk berbuat baik pada orang itu. Toh, mereka tidak tahu terimakasih. Aku kesal! Kesaaal….. sekali! Sejadi-jadinya aku berteriak hingga kembali ibu dating ke kamarku, kali ini dengan tergopoh-gopoh.
            “Ada apa Levi? Kamu mengagetkan saja pagi-pagi begini?” Ia memandangku dengan bingung. Dan, ternyata ada seseorang yang mengikutinya, masuk ke kamar.
            Sosok yang tak ingin ku lihat. Ibu Udam, tetanggaku.
            “Iya nih, Levi. Ada apa pagi-pagi udah teriak?”
            Rasa tak enak langsung menyergap dadaku. Bu Udam sudah ada di kamarku. Penghobi gossip ini bahkan melihatku masih awut-awutan.
            “Ng… ng.. nggak ada,” jawabku cengengesan seraya berlari ke kamar mandi.
            Dasar bu Udam. Punya kesempatan juga dia akhirnya membuatku malu –di rumahku sendiri lagi.
            Tidak bias tidak, dari kamar mandi aku masih bisa mendengar Ibu berbicara dengan bu Udam. Jelas ku dengar ibu mulai lagi dengan keempatiannya seraya meminta bu Udam bersabar menungguku selesai mandi.
            Hatiku yang mulai mendingin oleh siraman air kembali membara. Persetan, dia mau menunggu sampai kapan pun aku tak sudi memberi pinjaman padanya. Biar saja dia mencari pinjaman pada rentenir. Tahu rasa dia sekarang! Makanya jangan suka membicarakan hal-hal yang orang lain tidak suka. Tahu sendiri akibatnya.
            Satu jam lebih aku berada di kamar mandi. Ku dengar bu Udam sudah minta permisi. Ibu menyuruhnya menunggu di rumahnya saja karena ibu akan membawa sendiri uang itu ke rumah bu Udam. Ibu… kenapa sih?
            “Sebentar Levi. Ibu minta, tolong kasih bu Udam pinjaman. Kasihan. Ibu mertuanya lagi sakit keras.”
            “Ibu tahu sendiri, simpanan saya tinggal berapa?” tolakku halus.
            “Ya seadanya saja dikasih. Ibu sudah kadung janji sama dia.”
            Tak tega juga rasanya ku tolak permintaan ibu. Meski tak suka, berat hati ku keluarkan uang simpanan yang diminta Ibu.
            “Suatu saat, kita juga pasti butuh bantuannya. Kan malu juga jika nanti kita butuh bantuannya terus sekarang kita tidak mau bantuin?”
            Ibu… gaya bicaranya kepadaku tak jua berubah. Seperti berbicara pada anak kecil yang masih bimbingan total.
            Aku kesal pada bu Udam. Sekali ini –lagi-lagi aku merasa malu padanya. Ibu…? Bahkan berpihak padanya. Huh… tetangga rese.
            Awas saja kalau dia bicara macam-macam lagi tentangku –seperti yang ia lakukan beberapa waktu yang lalu- akan ku ceritakan pada orang banyak tentang hutangnya padaku. Ini pasti akan menjadi gossip favorit di seantero lingkungan sekitar terutama di antara ibu-ibu yang datang membeli nasi setiap pagi pada Ibu. Dan bu Udam akan marah dan protes padaku. Dengan alasan seperti itulah akan ku habisi ia dengan kata-kata pedas yang tak ia sangka-sangka.
            Hingga Ibu balik dari pasar –membeli bahan dagangan- ternyata aku masih mematung di depan kaca. Kacau! Pikiranku penuh dengan Bu Udam beberapa saat tadi.
            “Levi… kamu belum selesai ganti baju juga?” Lagi-lagi Ibu bingung dengan tingkahku.
            Aku diam, sedikit cemberut. Badanku terasa kering karena belum sempat ku pakaikan body lotion. Gara-gara bu Udam ni…. Bu Udam lagi Bu Udam lagi. Hhh…
            “Ibu tahu apa yang membuat kamu kesal pada bu Udam,” kata Ibu tiba-tiba.
            “Oh ya? Lalu kenapa Ibu tidak mendukung saya. Malah minjemin duit ke bu Udam?”
            “Dia tetangga kita. Saat ini dia butuh sekali bantuan untuk keperluan biaya mertuanya yang sedang sakit.”
            “Dia kan punya keluarga banyak. Mereka bisa dimintai  tolong juga kan, Bu. Kok kita yang tidak ada hubungan keluarga yang dibikin repot dengan kesusahannya.”
            “Levi… keadaan keluarganya juga tak jauh beda dengan bu Udam. Kamu tahu sendiri kan? Nah, kewajiban kitalah yang kemudian menggantikan keluarganya.”
            “Ya baiklah. Ibu selalu benar. Tapi aku tetap nggak suka dengan bualannya kemarin,” kataku masih mengingatkan Ibu.
            “Kalau kamu merasa tidak melakukan apa yang ia katakana, tak usah merasa resah. Besok-besok dia mungkin akan menyadari kesalahannya.”
            Ibu makin bisa aja membalas perkataanku. Aku memilih keluar kamar dan terkejut bukan main. Di depan kamarku, mungkin sedari tadi ia sudah berdiri dan mendengar pembicaraanku dengan Ibu. Sejak kapan ia masuk ke rumah kami dan yang paling meresahkan adalah raut wajahnya yang tanpa ekspresi. Tak kuat ku tatap ia, buru-buru aku melenggang pergi. Biarlah, Bu Udam mungkin saatnya dikasih shock therapy.

Tidak ada komentar: